BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara indonesia merupakan negara yang merdeka pada tanggal 17 agustus
1945. Dengan perjuangan yang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan
tersebut. Setelah merdeka maka dibuatkanya sebuah konstitusi sebagai dasar
negara, yang dijadikan pedoman bagi setiap elemen(negara) untuk
mewujudkannya. Konstitusi
tersebut kita kenal dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Undang-undang
dasar 1945 terdiri atas pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, ketiga bagian
itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai hukum dasar
negara undang-undang 1945 bersifat mengikat, lembaga masyarakat, serta mengikat
setiap warga masyarakat Indonesia dimanapun berada.
Indonesia
sebagai Negara republik yang berdaulat penuh memiliki peran dan kewajiban
mengayomi rakyatnya dalam setiap aspek kehidupan sosial maupun ekonomi. Oleh
karena itu, pada masanya lahirlah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi
ekonomi.
Sejalan
dengan itu,Mahkamah Konstitusi telah kerap kali memutuskan perkara yang
menggunakan batu uji Pasal 33 UUD 1945 tersebut mengenai Judicial Review
yang diantaranya tentang pengelolaan sumber daya air, minyak dan gas bumi, seta
ketenagalistrikan.
Salah
satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah
tercantum didalam ayat (3) mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada
yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang
dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama
persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS
1950, sehingga ada anggapan bahwa hal itu merupakan cerminan nasionalisme
ekonomi Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana putusan mahkamah konstitusi terhadap judicial
review undang-undang nomor 22 tahun 2001 undang-undang nomor 20 tahun 2002 dan
undang-undang nomor 7 tahun 2004 terhadap pasal 33 uud 1945?
2.
Bagaimana penafsiran mahkamah konstitusi
terhadap pasal 33 uud 1945?
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Isi pokok Pasal 33 UUD 1945
Dalam
rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai
fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political
constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution),
bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 sebagai sebuah
konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan
lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari
itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan
sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945.( Magnar, dkk. 2010:112). Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila,
yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. konstitusi ekonomi tersebut
terlihat pada materi, yang berbunyi:
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
4.
perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5.
ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pasal ini diatur dalam undang-undang.
B. Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Landasan Sistem
Ekonomi Pancasila
Menurut
Yance Arizona (2004:11) bahwa Jiwa Pasal
33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan
semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik
(seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan
bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan
di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi
yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya,
sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.
Tetapi
dalam perjalanan waktu, penerapan pasal 33 UUD 1945 ini dilapangan menimbulkan
polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Beberapa Permasalahan dalam
Implementasi Pasal 33 UUD 1945, misalnya:
a.
Misalnya Masyarakat yang menanggung resiko
terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, tanpa mendapat
perlindungan selayaknya, Misalnya kasus masuknya infestor asing yang mengeruk
habis sumberdaya alam Indonesia dengan menerapkan kontrak Karya, seperti kita
tau kerjasama pemerintah dengan infestor asing melalui kontrak karya sama
sekali tidak mencerminkan jiwa pasal 33 UUD 1945.
b.
Perkembangan ekonomi global juga banyak
permasalahan yang sering kali muncul menyangkut penjabaran Pasal 33 UUD 1945.
Misalnya, permasalahan yang perlu mendapat perhatian, ialah tentang aturan
pelaksanaannya yang lahir dalam bentuk undang-undang, yaitu tentang
bagaimana peranan negara dalam penguasaan sumber daya alam (ekonomi) yang ada.
c.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan sektor-sektor ekonomi di Indonesia yang seharusnya mendasarkan
pada Pasal 33 UUD 1945. Namun pada prakteknya, berbagai peraturan
perundang-undangan lebih mengakomodasi tekanan-tekanan kepentingan politik dan
ekonomi para pendukung ekonomi pasar. Karena memang hukum adalah produk
politik”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum
tertentu.
Khusus
terhadap permasalahan yang ke 3 (tiga) diatas terkait persoalan-persoalan
karakter produk hukum tersebut kemudian muncul pada wilayah hukum di Indonesia
di bidang sumber daya alam, seiring dengan keluarnya Undang-Undang, misalnya:
- Undang-Undang
No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,
- Undang-Undang
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam,
- Undang-Undang
No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Kesesuaian
antara ketiga undang-undang tersebut dengan Pasal 33 UUD 1945, merupakan dasar
berbagai kalangan masyarakat untuk mengugat validitas keberlakuan ketiga
undang-undang tersebut kepada mahkamah Konstitusi ketika secara nyata-nyata
merugikan hak konstitusional warga negara.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Kuntana Magnar, dkk. (2010:165) bahwa berdasarkan ketentuan
pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman disamping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada
dibawahnya. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi mempunyai
kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangann sebagaimana telah ditentukan oleh
pasal 24 ayat 2, pasal 24C, dan diatur lebih lanjut dalam UU No 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan d UU 24/2003 kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai
politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu,
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
Negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai (1)
pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir
konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal
demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak
konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional
rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia(the protector of human
rights).
Dalam
konteks ini, Mahkamah Konstitusi dipaksa untuk memberikan tafsir trhadap pasal
33 UUD 1945 yang memuaskan bagi semua pihak khususnya para pemohon judicial
review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Pasal 33 UUD 1945.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Terhadap Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 terhadap
Pasal 33 UUD 1945.
Mahkamah
Konstitusi telah kerap kali memutuskan perkara yang menggunakan batu uji Pasal
33 UUD 1945 tersebut yang diantaranya sebagai berikut:
1.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial Review Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU 063/PUU-II/2004 memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya sebagai berikut:
a.
karakteristik air yang merupakan bagian dari
HAM, oleh karenanya negara memiliki peran dalam rangka melindungi, mengormati
dan memenuhinya;
b.
negara dapat turut campur didalam melakukan
pengaturan terhadap air. Sehingga Pasal 33 ayat (3) harus diletakan di dalam
konteks HAM dan merupakan bagian dari Pasal 28H UUD 1945
c.
Bahwa air merupakan sebagai benda res
commune, sehingga tidak dapat dihitung hanya berdasarkan pertimbangan nilai
secara ekonomi. Konsep res commune, berimplikasi pada prinsip pemanfaat air
harus membayar Iebih murah;
d.
Hak guna pakai air merupakan turunan dari hak
hidup yang dijamin oleh UUD 1945 dan masuk ke dalam wilayah hokum publik yang
berbeda dengan hukum privat yang bersifat kebendaan;
e.
peran swasta masih dapat dilakukan di dalam
pengelolaan sumber daya air, selama peran negara masih ditunjukkan dengan
merumuskan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
f.
Berdasarkan pokok pertimbangan di atas, maka
substansi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
tidak bertentangan dengan UUD 1945.
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial Review Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU:002/PUU-I/2003 memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya sebagai berikut:
a.
Konsepsi “Dikuasai oleh Negara” dalam pasal 33
(3) UUD 1945 merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi
politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian
kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh
rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat
secara kolektif yang dimandatkankepada negara untuk menguasainya guna
dipergunakan bagi sebesar besarnya kemakmuran bersama.
b.
Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara”
hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal
dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Walaupun demikian, konsepsi kepemilikan
perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis
penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
c.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian
“dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara
yang luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada
negara untuk merumuskan kebijakan, pengurusan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasanuntuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
sebagian pokok pertimbangan Mahkamah konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi
telah memutuskan secara materil mengabulkan gugatan pemohon untuk sebagian.
3. Putusan
Mahkamah Konstitusi Mengenai Judicial ReviewUndang-Undang Nomor 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya yang tertuang dalam PUU Nomor: 001/PUU-(/2002)
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya sebagai
berikut:
a.
bahwa berdasarkan penafsiran historis,
seperti yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan,
makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai
oleh negara.
b.
Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan
dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN)
sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa
memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud
penguasaan negara.
c.
sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun
2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha
ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan
semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya
pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial
maupun non-komersial. sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal
tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945
Berdasarkan
sebagian pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka MK
memutuskan permohonan Para Pemohon dikabulkan sebagian dengan menyatakan Pasal
16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena
bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
B. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap
Pasal 33 UUD 1945
Salah
satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah
tercantum didalam ayat (3) mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada
yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang
dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama
persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS
1950, sehingga ada anggapan bahwa hal itu merupakan cerminan nasionalisme
ekonomi Indonesia.
Bahwa
berdasarkan uraian putusan mahkamah konstitusi terhadap Judicial Review Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas adalah untuk
pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada
negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(consessie).
Fungsi
pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi
pengelolaan (beheersdaacf) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan Iangsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya
Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian
pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh
negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.[4]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkamah
Konstitusi menafsirkan Pasal 33 (3) UUD 1945 mngenai pengertian “hak menguasai
Negara” atas cabang-cabang produksi penting dan sumber kekayaan alam, meliputi:
1.
Mengadakan kebijakan (beleid)
2.
tindakan pengurusan (bestuursdaad)
3.
Pengaturan (regelendaad)
4.
Pengelolaan (beheersdaad)
5.
Pengawasan (toezichthoundensdaad)
Pertimbangan
putusan Mahkamah Konstitusi.Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas
Alam, dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dapat
disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak saja menilai atas segala
sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan hukumnya, tetapi
juga mencoba untuk membuat pertimbangan sehingga mengeluarkan putusan yang berisi
ke masa depan, khususnya dalam mengawal pelaksanaan UU tersebut agar tetap
sejalan dengan UUD 1945.
B. Saran
Dalam
pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya, saran/kritik pembaca sangat penulis harapkan
sebagai penyempurna makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arimbi HP dan
Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Fiends of the Earth (FoE), Indonesia,1999,http://www.pacific.net.id/~dede_s/Membumikan.htm, diakses pada tanggal 3 Desember 2010.
Asshiddiqie,
Jimly, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Arizona, Yance
, 2007, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33 UUD 1945 (Perbandingan
Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU I/2003 Mengenai Pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan
Perkara Nomor 058- 059-060063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.
Gunadi, Tom,
1990. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45,
Bandung:
Angkasa.
Kuntana Magnar,
Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufk, Februari 2010. Tafsir MK Atas
Pasal 33 UUd 1945: (Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU
No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002), Jurnal Konstitusi, Volume 7,
Nomor 1.
Tutik, Titik,
T, 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta: Cerdas Pustaka.